PENDAHULUAN
Setelelah
melalui pembahasan yang alot, akhirnya semua Komisi DPR menyetujui RUU BUMN
menjadi UU BUMN (UU No.19 Tahun 2003) dan mulai berlaku sejak tanggal 19 Juni
2003. Satu hal yang melatar belakangi pembentukkan UU BUMN adalah karena
peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur BUMN di Indonesia sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian dan dunia usaha yang semakin
pesat, baik secara nasional maupun internasional. Jika demikian halnya, maka
permasalahan yang dihadapi BUMN dan tidak optimalnya perananya selama ini tentu
tidak dapat dilepaskan dari mekanisme yang diberikan peraturan
perundang-undangan, namun melemparkan seluruhnya sebab pada kelemahan peraturan
perundang-undangan juga tidak fair. Sebagai perusahaan, maju mundurnya BUMN
tidak dapat dilepaskan dari manajemen. Indikasi ini tercermin dari konsideran
UU BUMN, bahwa BUMN belum sepenuhnya dikelola secara profesionalisasi dan
pelaksanaan perannya belum optimal. Pertanyaannya kemudian, mengapa selama ini
BUMN tidak diurus dan diawasi secara professional ? Terlepas dari apa pun
jawaban atas pertanyaan tadi, masalahnya sekarang, apakah dibawah payung UU
No.19 Tahun 2003 akan dapat diwujudkan optimalisasi pengurusan dan pengawasan
BUMN secara professional guna mewujudkan kesejahteraan rakyat ? Pertanyaan di
atas belum akan menemukan jawabannya saat ini, karena UU BUMN sendiri baru
berumur beberapa bulan. Di lain pihak BUMN-BUMN yang ada di Indonesia sudah
terbentuk, tumbuh dan berkembang dibawah payung peraturan perundang-undangan yang
dibentuk puluhan tahun lalu. Artinya, penerapan UU No.19 Tahun 2003
sesungguhnya akan menghadapi banyak tantangan. Terlebih lagi ada sejumlah
penilaian dan issue negatif terhadap BUMN di Indonesia, meskipun Meneg BUMN
Laksamana Sukardi [1] mengatakan, bahwa dengan adanya UU BUMN ini peluang BUMN
untuk dijadikan “sapi perahan” partai politik (tentu termasuk pemerintah-pen),
tidak ada lagi. dan dilain pihak berkaitan dengan program privatisasi BUMN.
Dalam konteks demikian, tulisan ini hendak mengkaji reformasi BUMN dalam
perspektif UU No.19 Tahun 2003. II. Eksistensi BUMN di Indonesia Sebelum
Lahirnya UU No.19 Tahun 2003. Eksistensi BUMN diberbagai negara menunjukkan
perbedaan-perbedaan secara konsepsional, termasuk eksistensi BUMN di Indonesia.
Meskipun secara umum keberadaan BUMN berkaitan dengan paham negara
kesejahteraan (social service state, walfare state), dimana pemerintah memiliki
tanggung jawab yang luas dalam berbagai aspek kehidupan warga negaranya guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satu tanggung jawab pemerintah dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat itu adalah dalam bidang perekonomian
rakyat. Sebagaimana dikemukakan Didik J.Rachbini [2] bahwa dalam system ekonomi
yang kompleks, pera pelaku ekonomi tidak hanya terbatas pada swasta, melainkan
pemerintah berperan dalam mengatur agar system ekonomi berjalan dengan baik.
Pemerintah tampil sebagai pengatur yang baik (regulator), agar system ekonomi
berkembang harmonis sesuai dengan realita social. Namun demikian, ternyata
pemerintah tidak meresa cukup hanya sebagai regulator system ekonomi, dimana
pemerintah juga terlibat lansung dalam bidang perekonomian. Negara (pemerintah)
ikut menjadi pengusaha di samping orang/badan swasta. Implementasi dari
pemerintah pengusaha itu diwujudkan dalam bentuk Perusahaan Negara atau yang
sekarang lebih populer disebut “Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”. Menurut
Robert Fabrikan dalam T.Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum dikutip dari Katon Y
Stefanus [3] BUMN tidak lain dari pada bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam
mencoba menciptakan atau mempertahankan keseimbangan kasar antara sector swasta
dan sector pemerintah. Dalam hal demikian, BUMN diharapkan berperan sebagai
faset perekonomian negara dan faset aparatur perekonomian negara. Di Indonesia
tumbunya BUMN pada masa kemerdekaan sebenarnya untuk sebagian merupakan reaksi
terhadap situasi kolonial. Sesudah kemerdekaan, perusahaan-perusahaan Belanda
dan asing lainnya, melanjutkan operasinya di Indonesia hingga dilakukan
tindakan nasionalisasi pada tahun 1957. Siatusi itulah yang melatar belakangi,
mengapa para pemimpin Indonesia mengambil posisi nasional dan sosialis. Tanpa
mengenyampingkan fenomena keikutsertaan pemerintah secara lansung dalam bidang
perekonomian, pengertian terhadap BUMN itu sendiri mengalami perubahan konsepsi
dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut; 1. Dalam UU No.9
Tahun 1969 disebutkan; BUMN adalah seluruh bentuk usaha negara yang seluruhnya
atau sebagian modalnya dimiliki oleh Negara/Pemerintah dan dipisahkan dari
kekayaan negara. 2. Dalam Instruksi Presiden No.5 Tahun 1988 disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan BUMN adalah ; a) Badan Usaha yang sepenuhnya dimiliki oleh
negara; b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara, tetapi statusnya
disamakan dengan BUMN, yaitu: a. BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah. b. BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah
dengan BUMN lainnya c. BUMN yang merupakan Badan usaha patungan antara
Pemerintah dengan swasta nasional/Asing, dimana negara memiliki saham mayoritas
(minimal 51 persen). Sedangkan anak perusahaan BUMN akan menjadi bagian dari
kekayaan BUMN apabila sebagian besar sahamnya (minimal 51 persen) atau
seluruhnya dimiliki oleh BUMN. 3. Dalam UU No.9 Tahun 2003 disebutkan; BUMN
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimilki oleh negara
melalui penyertaan secara lansung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. Pengertian BUMN yang diberikan peraturan perundang-undangan di atas
masing-masingnya secara substantif memperlihatkan adanya reformasi. Jika
sebelum adanya UU No. 19 Tahun 1960 adanya bermacam-macam bentuk usaha negara ,
maka setelah ditetapkan UU No.19 Tahun 1960 semua badan usaha milik negara yang
ada waktu itu diberi nama Perusahaan Negara. Dalam konteks ini , UU No.19 Tahun
1960 tidak begitu mementingkan bentuk-bentuk badan usaha negara, tetapi yang
lebih dipentingkan adalah kedudukan badan hukumnya yang diperoleh dengan
Peraturan Pemerintah (PP). Kemudian terjadi penertiban badan-badan usaha milik
negara berdasarkan instruksi Presiden No.17 Tahun 1967, dimana bagi badan usaha
yang dianggap sudah tidak dapat lagi diteruskan eksistensinya karena tidak
memenuhi syarat sebagai suatu badan usaha yang sehat atau fungsinya sudah tidak
sesuai dengan keadaan, diusahakan pembubarannya. Bagi badan usaha yang lemah
dan bergerak dibidang yang sama diusahakan perbaikannya dengan cara
penggabungan. Bagi badan-badan usaha milik negara yang dinilai masih memiliki
prospek diarahkan pengalihan bentuknya menjadi salah satu dari tiga bentuk BUMN
yang baru, yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan
Perusahaan Perseroan (Persero). Untuk memberi dasar perundangan bagi ketiga
bentuk BUMN itu diterbitkanlah UU No. 9 Tahun 1969. Dengan demikian Badan-badan
Usaha Milik Negara yang sebelumnya semua diberi nama Perusahaan Negara yang
tidak mempersoalkan bentuknya, maka sejak tahun 1969 hanya ada tiga bentu BUMN
yakni; Perjan, Perum dan Persero. Baik Perjan maupun Perum seluruh modalnya
merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham-saham.
Sedangkan usaha-usaha negara dalam bentuk Persero, menurut konsepsi UU No.9
Tahun 1969 itu berupa perusahaan negara yang seluruhnya modalnya tidak
seluruhnya dimiliki negara. Konsepsi Perusahaan Negara dalam bentuk Persero ini
menampakkan wajahnya yang lain dari konsepsi Perusahaan Negara sebagaimana
diatur dalam UU No.19 Tahun 1960.