Selasa, 04 Juni 2013

ETIKA DAN HUKUM BISNIS



PENDAHULUAN

Setelelah melalui pembahasan yang alot, akhirnya semua Komisi DPR menyetujui RUU BUMN menjadi UU BUMN (UU No.19 Tahun 2003) dan mulai berlaku sejak tanggal 19 Juni 2003. Satu hal yang melatar belakangi pembentukkan UU BUMN adalah karena peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur BUMN di Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian dan dunia usaha yang semakin pesat, baik secara nasional maupun internasional. Jika demikian halnya, maka permasalahan yang dihadapi BUMN dan tidak optimalnya perananya selama ini tentu tidak dapat dilepaskan dari mekanisme yang diberikan peraturan perundang-undangan, namun melemparkan seluruhnya sebab pada kelemahan peraturan perundang-undangan juga tidak fair. Sebagai perusahaan, maju mundurnya BUMN tidak dapat dilepaskan dari manajemen. Indikasi ini tercermin dari konsideran UU BUMN, bahwa BUMN belum sepenuhnya dikelola secara profesionalisasi dan pelaksanaan perannya belum optimal. Pertanyaannya kemudian, mengapa selama ini BUMN tidak diurus dan diawasi secara professional ? Terlepas dari apa pun jawaban atas pertanyaan tadi, masalahnya sekarang, apakah dibawah payung UU No.19 Tahun 2003 akan dapat diwujudkan optimalisasi pengurusan dan pengawasan BUMN secara professional guna mewujudkan kesejahteraan rakyat ? Pertanyaan di atas belum akan menemukan jawabannya saat ini, karena UU BUMN sendiri baru berumur beberapa bulan. Di lain pihak BUMN-BUMN yang ada di Indonesia sudah terbentuk, tumbuh dan berkembang dibawah payung peraturan perundang-undangan yang dibentuk puluhan tahun lalu. Artinya, penerapan UU No.19 Tahun 2003 sesungguhnya akan menghadapi banyak tantangan. Terlebih lagi ada sejumlah penilaian dan issue negatif terhadap BUMN di Indonesia, meskipun Meneg BUMN Laksamana Sukardi [1] mengatakan, bahwa dengan adanya UU BUMN ini peluang BUMN untuk dijadikan “sapi perahan” partai politik (tentu termasuk pemerintah-pen), tidak ada lagi. dan dilain pihak berkaitan dengan program privatisasi BUMN. Dalam konteks demikian, tulisan ini hendak mengkaji reformasi BUMN dalam perspektif UU No.19 Tahun 2003. II. Eksistensi BUMN di Indonesia Sebelum Lahirnya UU No.19 Tahun 2003. Eksistensi BUMN diberbagai negara menunjukkan perbedaan-perbedaan secara konsepsional, termasuk eksistensi BUMN di Indonesia. Meskipun secara umum keberadaan BUMN berkaitan dengan paham negara kesejahteraan (social service state, walfare state), dimana pemerintah memiliki tanggung jawab yang luas dalam berbagai aspek kehidupan warga negaranya guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satu tanggung jawab pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat itu adalah dalam bidang perekonomian rakyat. Sebagaimana dikemukakan Didik J.Rachbini [2] bahwa dalam system ekonomi yang kompleks, pera pelaku ekonomi tidak hanya terbatas pada swasta, melainkan pemerintah berperan dalam mengatur agar system ekonomi berjalan dengan baik. Pemerintah tampil sebagai pengatur yang baik (regulator), agar system ekonomi berkembang harmonis sesuai dengan realita social. Namun demikian, ternyata pemerintah tidak meresa cukup hanya sebagai regulator system ekonomi, dimana pemerintah juga terlibat lansung dalam bidang perekonomian. Negara (pemerintah) ikut menjadi pengusaha di samping orang/badan swasta. Implementasi dari pemerintah pengusaha itu diwujudkan dalam bentuk Perusahaan Negara atau yang sekarang lebih populer disebut “Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”. Menurut Robert Fabrikan dalam T.Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum dikutip dari Katon Y Stefanus [3] BUMN tidak lain dari pada bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam mencoba menciptakan atau mempertahankan keseimbangan kasar antara sector swasta dan sector pemerintah. Dalam hal demikian, BUMN diharapkan berperan sebagai faset perekonomian negara dan faset aparatur perekonomian negara. Di Indonesia tumbunya BUMN pada masa kemerdekaan sebenarnya untuk sebagian merupakan reaksi terhadap situasi kolonial. Sesudah kemerdekaan, perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, melanjutkan operasinya di Indonesia hingga dilakukan tindakan nasionalisasi pada tahun 1957. Siatusi itulah yang melatar belakangi, mengapa para pemimpin Indonesia mengambil posisi nasional dan sosialis. Tanpa mengenyampingkan fenomena keikutsertaan pemerintah secara lansung dalam bidang perekonomian, pengertian terhadap BUMN itu sendiri mengalami perubahan konsepsi dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut; 1. Dalam UU No.9 Tahun 1969 disebutkan; BUMN adalah seluruh bentuk usaha negara yang seluruhnya atau sebagian modalnya dimiliki oleh Negara/Pemerintah dan dipisahkan dari kekayaan negara. 2. Dalam Instruksi Presiden No.5 Tahun 1988 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan BUMN adalah ; a) Badan Usaha yang sepenuhnya dimiliki oleh negara; b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara, tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu: a. BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. b. BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya c. BUMN yang merupakan Badan usaha patungan antara Pemerintah dengan swasta nasional/Asing, dimana negara memiliki saham mayoritas (minimal 51 persen). Sedangkan anak perusahaan BUMN akan menjadi bagian dari kekayaan BUMN apabila sebagian besar sahamnya (minimal 51 persen) atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN. 3. Dalam UU No.9 Tahun 2003 disebutkan; BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimilki oleh negara melalui penyertaan secara lansung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pengertian BUMN yang diberikan peraturan perundang-undangan di atas masing-masingnya secara substantif memperlihatkan adanya reformasi. Jika sebelum adanya UU No. 19 Tahun 1960 adanya bermacam-macam bentuk usaha negara , maka setelah ditetapkan UU No.19 Tahun 1960 semua badan usaha milik negara yang ada waktu itu diberi nama Perusahaan Negara. Dalam konteks ini , UU No.19 Tahun 1960 tidak begitu mementingkan bentuk-bentuk badan usaha negara, tetapi yang lebih dipentingkan adalah kedudukan badan hukumnya yang diperoleh dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kemudian terjadi penertiban badan-badan usaha milik negara berdasarkan instruksi Presiden No.17 Tahun 1967, dimana bagi badan usaha yang dianggap sudah tidak dapat lagi diteruskan eksistensinya karena tidak memenuhi syarat sebagai suatu badan usaha yang sehat atau fungsinya sudah tidak sesuai dengan keadaan, diusahakan pembubarannya. Bagi badan usaha yang lemah dan bergerak dibidang yang sama diusahakan perbaikannya dengan cara penggabungan. Bagi badan-badan usaha milik negara yang dinilai masih memiliki prospek diarahkan pengalihan bentuknya menjadi salah satu dari tiga bentuk BUMN yang baru, yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Untuk memberi dasar perundangan bagi ketiga bentuk BUMN itu diterbitkanlah UU No. 9 Tahun 1969. Dengan demikian Badan-badan Usaha Milik Negara yang sebelumnya semua diberi nama Perusahaan Negara yang tidak mempersoalkan bentuknya, maka sejak tahun 1969 hanya ada tiga bentu BUMN yakni; Perjan, Perum dan Persero. Baik Perjan maupun Perum seluruh modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham-saham. Sedangkan usaha-usaha negara dalam bentuk Persero, menurut konsepsi UU No.9 Tahun 1969 itu berupa perusahaan negara yang seluruhnya modalnya tidak seluruhnya dimiliki negara. Konsepsi Perusahaan Negara dalam bentuk Persero ini menampakkan wajahnya yang lain dari konsepsi Perusahaan Negara sebagaimana diatur dalam UU No.19 Tahun 1960.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar